Growth Mindset dalam Perspektif Literasi Islam menurut Ulama Klasik dan
Kontemporer
Dalam dunia
pendidikan modern, istilah growth mindset merujuk pada pola pikir yang
meyakini bahwa kemampuan manusia dapat berkembang melalui usaha, pembelajaran,
dan ketekunan. Konsep ini sering dipertentangkan dengan fixed mindset,
yakni pandangan bahwa kecerdasan atau kemampuan bersifat tetap dan tidak bisa
berubah. Meskipun istilah ini populer di Barat melalui penelitian Carol Dweck,
hakikatnya nilai growth mindset sudah lama tertanam dalam tradisi
literasi Islam. Beberapa ulama klasik hingga kontemporer memberikan penekanan
yang khas terhadap gagasan pengembangan diri, kesungguhan, dan keikhlasan dalam
menuntut ilmu serta beramal.
Berikut
pandangan tiga tokoh penting: Imam Al-Ghazali, Imam Ali Zainal Abidin, dan
Sayid Ali Khamenei.
1. Imam
Al-Ghazali: Transformasi Diri Melalui Ilmu dan Tazkiyatun Nafs
Imam Abu
Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M), dikenal sebagai Hujjatul Islam, menekankan
pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dalam proses belajar.
Baginya, akal dan hati manusia dapat berkembang tanpa batas jika diarahkan pada
ilmu yang bermanfaat dan amal yang tulus. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia
menegaskan bahwa ilmu bukanlah sekadar informasi, melainkan sarana transformasi
diri.
Dari
perspektif growth mindset, Al-Ghazali menekankan bahwa manusia tidak
boleh berpuas diri dengan kondisi saat ini. Ia menulis: “Barang siapa yang
tidak menambah ilmunya, maka ia akan berkurang. Dan barang siapa yang hari ini
sama dengan kemarin, maka ia adalah orang yang merugi.” Kalimat ini
menggambarkan urgensi untuk terus berkembang, memperbaiki diri, dan tidak
berhenti pada pencapaian sementara.
Letak
penekanan Al-Ghazali: perkembangan manusia bergantung pada
penyucian hati dan kesungguhan mencari ilmu, sehingga setiap individu memiliki
potensi tak terbatas untuk tumbuh.
2. Imam Ali
Zainal Abidin: Konsistensi, Kesabaran, dan Doa sebagai Jalan Pertumbuhan
Imam Ali
Zainal Abidin (w. 713 M), cucu dari Imam Husain, dikenal dengan warisan
spiritualnya dalam Ash-Shahifah As-Sajjadiyah. Ia memandang pertumbuhan
manusia bukan hanya pada aspek intelektual, tetapi juga spiritual. Melalui
doa-doanya, beliau menekankan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kerendahan
hati dalam meraih kesempurnaan hidup.
Dalam salah
satu doanya, beliau memohon agar Allah menjadikannya lebih baik dari apa
yang dipikirkan orang tentang dirinya dan mengampuni kekurangannya. Hal ini
menunjukkan kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam proses menjadi, bukan
keadaan yang statis.
Dari
perspektif growth mindset, Imam Zainal Abidin mengajarkan bahwa
pertumbuhan sejati lahir dari pengakuan atas kelemahan diri, disertai tekad
memperbaiki kekurangan melalui doa, amal, dan kesabaran.
Letak
penekanan Imam Zainal Abidin: growth mindset ditempatkan pada kerendahan hati dan kesadaran spiritual, bahwa manusia
selalu bisa tumbuh selama bersandar pada Allah dan tidak berhenti memperbaiki
diri.
3. Sayid Ali Khamenei: Pendidikan, Kerja Keras, dan Perlawanan terhadap
Kejumudan
Sayid Ali
Khamenei (lahir 1939), pemimpin spiritual kontemporer Iran, kerap menekankan
pentingnya membangun generasi muda dengan semangat belajar, kemandirian, dan
kerja keras. Baginya, stagnasi intelektual dan mental adalah bentuk penjajahan
terselubung yang menghambat kemajuan umat Islam.
Dalam
berbagai ceramahnya, ia menegaskan bahwa bangsa yang ingin maju harus
menumbuhkan budaya ilmu, penelitian, dan inovasi. Ia sering menyebut bahwa
Islam mengajarkan ijtihad (usaha intelektual) yang berkesinambungan,
sehingga umat tidak boleh terjebak dalam mentalitas statis atau sekadar meniru.
Dari
perspektif growth mindset, Sayid Ali Khamenei menekankan bahwa potensi
bangsa dan individu dapat berkembang pesat jika dibarengi tekad kuat, disiplin,
dan keyakinan bahwa kemampuan bisa ditingkatkan.
Letak
penekanan Sayid Ali Khamenei: growth mindset diterjemahkan ke dalam semangat kerja keras, pendidikan, dan keberanian
menghadapi tantangan zaman untuk membangun peradaban Islam yang unggul.
Kesimpulan
Ketiga
ulama di atas, meski berbeda zaman dan konteks, memiliki benang merah yang
sama: manusia selalu berada dalam proses menjadi, bukan dalam
keadaan final.
- Imam Al-Ghazali menekankan ilmu dan penyucian hati sebagai fondasi
pertumbuhan.
- Imam Ali Zainal Abidin menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan doa sebagai
motor spiritual dalam perjalanan pengembangan diri.
- Sayid Ali Khamenei menekankan pendidikan, kerja keras, dan semangat ijtihad
sebagai kunci kemajuan umat di era modern.
Dengan
demikian, growth mindset dalam perspektif literasi Islam bukan sekadar
keyakinan psikologis, melainkan bagian dari jalan spiritual, intelektual, dan
sosial untuk terus memperbaiki diri dan menebar manfaat bagi kehidupan.