Selasa, 30 September 2025

 Growth Mindset dalam Perspektif Literasi Islam menurut Ulama Klasik dan Kontemporer

Dalam dunia pendidikan modern, istilah growth mindset merujuk pada pola pikir yang meyakini bahwa kemampuan manusia dapat berkembang melalui usaha, pembelajaran, dan ketekunan. Konsep ini sering dipertentangkan dengan fixed mindset, yakni pandangan bahwa kecerdasan atau kemampuan bersifat tetap dan tidak bisa berubah. Meskipun istilah ini populer di Barat melalui penelitian Carol Dweck, hakikatnya nilai growth mindset sudah lama tertanam dalam tradisi literasi Islam. Beberapa ulama klasik hingga kontemporer memberikan penekanan yang khas terhadap gagasan pengembangan diri, kesungguhan, dan keikhlasan dalam menuntut ilmu serta beramal.

Berikut pandangan tiga tokoh penting: Imam Al-Ghazali, Imam Ali Zainal Abidin, dan Sayid Ali Khamenei.

1. Imam Al-Ghazali: Transformasi Diri Melalui Ilmu dan Tazkiyatun Nafs

Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M), dikenal sebagai Hujjatul Islam, menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dalam proses belajar. Baginya, akal dan hati manusia dapat berkembang tanpa batas jika diarahkan pada ilmu yang bermanfaat dan amal yang tulus. Dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menegaskan bahwa ilmu bukanlah sekadar informasi, melainkan sarana transformasi diri.

Dari perspektif growth mindset, Al-Ghazali menekankan bahwa manusia tidak boleh berpuas diri dengan kondisi saat ini. Ia menulis: “Barang siapa yang tidak menambah ilmunya, maka ia akan berkurang. Dan barang siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka ia adalah orang yang merugi.” Kalimat ini menggambarkan urgensi untuk terus berkembang, memperbaiki diri, dan tidak berhenti pada pencapaian sementara.

Letak penekanan Al-Ghazali: perkembangan manusia bergantung pada penyucian hati dan kesungguhan mencari ilmu, sehingga setiap individu memiliki potensi tak terbatas untuk tumbuh.

2. Imam Ali Zainal Abidin: Konsistensi, Kesabaran, dan Doa sebagai Jalan Pertumbuhan

Imam Ali Zainal Abidin (w. 713 M), cucu dari Imam Husain, dikenal dengan warisan spiritualnya dalam Ash-Shahifah As-Sajjadiyah. Ia memandang pertumbuhan manusia bukan hanya pada aspek intelektual, tetapi juga spiritual. Melalui doa-doanya, beliau menekankan pentingnya kesabaran, konsistensi, dan kerendahan hati dalam meraih kesempurnaan hidup.

Dalam salah satu doanya, beliau memohon agar Allah menjadikannya lebih baik dari apa yang dipikirkan orang tentang dirinya dan mengampuni kekurangannya. Hal ini menunjukkan kesadaran bahwa manusia selalu berada dalam proses menjadi, bukan keadaan yang statis.

Dari perspektif growth mindset, Imam Zainal Abidin mengajarkan bahwa pertumbuhan sejati lahir dari pengakuan atas kelemahan diri, disertai tekad memperbaiki kekurangan melalui doa, amal, dan kesabaran.

Letak penekanan Imam Zainal Abidin: growth mindset ditempatkan pada kerendahan hati dan kesadaran spiritual, bahwa manusia selalu bisa tumbuh selama bersandar pada Allah dan tidak berhenti memperbaiki diri.

3. Sayid Ali Khamenei: Pendidikan, Kerja Keras, dan Perlawanan terhadap Kejumudan

Sayid Ali Khamenei (lahir 1939), pemimpin spiritual kontemporer Iran, kerap menekankan pentingnya membangun generasi muda dengan semangat belajar, kemandirian, dan kerja keras. Baginya, stagnasi intelektual dan mental adalah bentuk penjajahan terselubung yang menghambat kemajuan umat Islam.

Dalam berbagai ceramahnya, ia menegaskan bahwa bangsa yang ingin maju harus menumbuhkan budaya ilmu, penelitian, dan inovasi. Ia sering menyebut bahwa Islam mengajarkan ijtihad (usaha intelektual) yang berkesinambungan, sehingga umat tidak boleh terjebak dalam mentalitas statis atau sekadar meniru.

Dari perspektif growth mindset, Sayid Ali Khamenei menekankan bahwa potensi bangsa dan individu dapat berkembang pesat jika dibarengi tekad kuat, disiplin, dan keyakinan bahwa kemampuan bisa ditingkatkan.

Letak penekanan Sayid Ali Khamenei: growth mindset diterjemahkan ke dalam semangat kerja keras, pendidikan, dan keberanian menghadapi tantangan zaman untuk membangun peradaban Islam yang unggul.

Kesimpulan

Ketiga ulama di atas, meski berbeda zaman dan konteks, memiliki benang merah yang sama: manusia selalu berada dalam proses menjadi, bukan dalam keadaan final.

  • Imam Al-Ghazali menekankan ilmu dan penyucian hati sebagai fondasi pertumbuhan.
  • Imam Ali Zainal Abidin menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan doa sebagai motor spiritual dalam perjalanan pengembangan diri.
  • Sayid Ali Khamenei menekankan pendidikan, kerja keras, dan semangat ijtihad sebagai kunci kemajuan umat di era modern.

Dengan demikian, growth mindset dalam perspektif literasi Islam bukan sekadar keyakinan psikologis, melainkan bagian dari jalan spiritual, intelektual, dan sosial untuk terus memperbaiki diri dan menebar manfaat bagi kehidupan.




 Alam Barzakh: Perjalanan Menuju Keabadian

Setiap manusia pasti akan melewati satu fase yang sama, tanpa terkecuali—kematian. Dari situlah perjalanan panjang menuju kehidupan abadi dimulai. Namun, sebelum sampai pada akhirat, ada satu alam yang sering kali kita lupakan, yaitu Alam Barzakh.

Barzakh adalah tempat persinggahan sementara, ruang antara dunia yang fana dengan kehidupan akhirat yang kekal. Di sanalah ruh manusia berdiam, menanti waktu kebangkitan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindar darinya, tidak ada yang bisa melompati fase ini. Alam Barzakh adalah kepastian.

Hidup Hanyalah Titipan

Umur yang kita miliki di dunia bukanlah milik kita sepenuhnya, ia hanyalah jatah waktu yang dipinjamkan Allah. Kita tidak pernah tahu kapan waktu itu habis. Bisa esok, bisa lusa, bahkan bisa hari ini. Kita juga tidak tahu di bumi bagian mana jasad kita akan dikebumikan. Semua rahasia itu hanya Allah yang mengetahuinya.

Maka, dunia ini hanyalah ladang untuk menanam. Apa yang kita tabur di sini, itulah yang akan kita tuai kelak di Barzakh dan akhirat. Amal kebaikan akan menjadi cahaya yang menenangkan, sementara dosa yang belum terhapus bisa menjadi penyesalan yang tiada akhir.

Pesan dari Alam Sunyi

Bayangkan, ketika kita sudah tidak lagi bernafas, ketika orang-orang tercinta hanya bisa menangis di tepi liang lahat, saat itu kita benar-benar sendiri. Hanya amal yang akan menemani. Uang, jabatan, dan harta benda semuanya tinggal. Sahabat, keluarga, bahkan pasangan hidup hanya mengantar sampai di bibir kubur.

Di dalam tanah yang gelap, Barzakh menyambut kita. Bagi yang hidupnya penuh amal, kubur akan terasa lapang bagaikan taman surga. Namun, bagi yang melalaikan perintah Allah, ia bisa menjadi tempat yang sempit dan menyesakkan.

Bekal yang Sesungguhnya

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an, bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, sementara kehidupan akhirat itulah yang abadi. Maka, sebaik-baik manusia adalah yang menjadikan dunia sebagai ladang kebaikan.

  • Shalat lima  waktu
  • Sedekah dengan ikhlas
  • Menjaga silaturahmi
  • Membaca Alqu’an
  • Berbuat Kebaikan
  • Memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan

Hal-hal sederhana itulah yang akan menjadi penerang di Barzakh.

Menyentuh Hati, Mengingat Mati

Sering kali kita menunda kebaikan dengan alasan “masih ada waktu.” Namun, siapa yang bisa menjamin kita akan bangun esok pagi? Kematian datang tanpa mengetuk pintu, tanpa memberi tanda pasti.

Karena itu, persiapkanlah dirimu. Jadikan setiap detik yang tersisa sebagai kesempatan untuk mendekat kepada Allah. Jangan sampai penyesalan datang ketika semuanya sudah terlambat.

Alam Barzakh adalah cermin bahwa hidup di dunia bukan tujuan akhir. Ia hanyalah persinggahan, sementara tujuan utama kita adalah kehidupan abadi di akhirat.

Mari jadikan dunia sebagai ladang kebaikan. Karena ketika maut menjemput, hanya amal yang akan setia menemani kita.




Kamis, 18 September 2025

 

7 Tips Menguasai Pikiran Menurut Michael A. Singer

Pendahuluan: Mengapa Pikiran Perlu Dikuasai?

Setiap hari kita dibanjiri oleh ribuan pikiran. Ada yang bermanfaat, ada yang netral, dan banyak pula yang hanya menguras energi. Pikiran-pikiran ini sering berputar tanpa kendali: penyesalan akan masa lalu, kekhawatiran tentang masa depan, hingga obrolan batin yang tak ada habisnya.

Michael A. Singer dalam bukunya The Untethered Soul menjelaskan bahwa pikiran bukanlah inti diri kita. Pikiran hanyalah “suara di kepala”, sebuah fenomena mental yang muncul dan hilang. Diri sejati bukanlah kumpulan pikiran itu, melainkan kesadaran yang menyaksikan pikiran.

Kesadaran inilah yang bersifat tetap, damai, dan tenang, sementara pikiran terus berubah-ubah. Sayangnya, banyak orang keliru dengan menganggap pikirannya sebagai identitas, lalu terjebak dalam penderitaan.

Untuk itu, Singer menawarkan tujuh cara menguasai pikiran. Mari kita telaah satu per satu, beserta makna mendalam yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1. Menjadi Pengamat Pikiran, Bukan Korban Pikiran

Kebanyakan orang hidup dengan menganggap setiap pikiran itu benar. Ketika muncul suara di kepala yang berkata, “Aku pasti gagal”, kita langsung percaya dan merasa cemas. Padahal, pikiran hanyalah fenomena mental yang muncul seperti awan di langit.

Michael Singer mengajak kita untuk bergeser posisi: dari korban pikiran menjadi pengamat pikiran. Artinya, kita berjarak dengan pikiran yang datang, memperhatikannya seperti menonton film, tanpa harus ikut terbawa alur ceritanya.

Misalnya, saat sedang menunggu hasil wawancara kerja, muncul pikiran: “Pasti aku tidak diterima”. Jika kita korban pikiran, maka kita langsung stres. Namun jika menjadi pengamat, kita akan berkata, “Oke, ada pikiran tentang kegagalan yang lewat. Aku tidak harus percaya padanya”.

Dengan sikap pengamat ini, kita terbebas dari jerat pikiran negatif.

2. Belajar Melepaskan Pikiran yang Mengikat

Pikiran sering melekat karena kita terus memeliharanya. Kita mengulang-ulang kejadian lama, menyesali, atau bahkan menghidupkannya kembali dalam kepala. Semakin kita memberi energi pada pikiran itu, semakin kuat ikatannya.

Singer mengajarkan praktik melepaskan. Melepaskan bukan berarti menolak atau melawan pikiran, melainkan tidak menahannya. Biarkan ia datang, lalu biarkan ia pergi.

Bayangkan pikiran seperti balon yang kita genggam erat. Selama kita tidak melepaskan, tangan kita akan terus lelah. Begitu kita lepaskan, balon itu terbang, dan kita merasa ringan.

Contoh: seseorang pernah melukai perasaan kita. Bertahun-tahun kemudian, kita masih mengulang-ulang kenangan itu, merasa marah atau sakit hati. Dengan melepaskan, kita berkata pada diri sendiri, “Itu hanya pikiran dan memori. Aku tidak perlu membawanya terus”.

Inilah kebebasan sejati: tidak dikendalikan oleh pikiran yang mengikat.

3. Membuka Diri pada Aliran Kesadaran

Kesadaran sejati itu luas, tenang, dan tidak terbatas. Pikiran hanyalah bagian kecil yang muncul dalam ruang kesadaran itu. Namun karena kita terlalu fokus pada pikiran, kita lupa bahwa ada “ruang besar” yang mengamati segalanya.

Membuka diri pada aliran kesadaran berarti menyadari bahwa diri kita lebih luas daripada isi kepala.

Caranya sederhana: duduk tenang, tarik napas, lalu perhatikan apa saja yang muncul. Ada suara burung, ada sensasi di tubuh, ada pikiran yang lewat. Semua itu terjadi dalam kesadaran kita.

Dengan berlatih menyadari, kita semakin paham bahwa kita bukanlah pikiran, melainkan kesadaran yang menyaksikan pikiran. Semakin luas kesadaran, semakin kecil kuasa pikiran atas diri kita.

4. Tidak Menjadikan Pikiran Sebagai Identitas

Salah satu jebakan terbesar adalah menganggap diri kita adalah pikiran kita. Kita sering berkata, “Aku orang gagal”, “Aku pemalu”, atau “Aku tidak berguna”. Padahal, itu hanyalah pikiran yang muncul, bukan identitas sejati kita.

Michael Singer menekankan bahwa identitas kita jauh lebih dalam. Kita adalah kesadaran, bukan kumpulan label mental. Pikiran bisa berubah-ubah: hari ini kita merasa percaya diri, besok kita merasa tidak berharga. Namun kesadaran yang mengamati itu tetap sama.

Jika kita terus mengidentifikasi diri dengan pikiran, maka kita akan naik-turun mengikuti mood. Tapi jika kita ingat bahwa pikiran hanyalah “suara” yang lewat, kita bisa tetap stabil dalam berbagai keadaan.

Contoh sederhana: seseorang yang sering berpikir “Aku tidak pantas dicintai”. Jika ia percaya pada pikiran itu, hidupnya penuh rasa rendah diri. Namun jika ia sadar bahwa itu hanyalah pikiran, maka ia tidak lagi menjadikannya identitas. Ia bisa berkata, “Ada pikiran tentang ketidakpantasan, tapi itu bukan aku”.

5. Berlatih Menyaksikan Emosi yang Lahir dari Pikiran

Pikiran sering melahirkan emosi. Pikiran tentang masa depan bisa menimbulkan cemas, pikiran tentang masa lalu bisa memunculkan penyesalan, pikiran tentang kehilangan bisa melahirkan kesedihan.

Emosi sebenarnya adalah energi yang lahir dari pikiran. Jika kita bereaksi berlebihan, energi itu makin besar. Tapi jika kita menyaksikan emosi tanpa menolak, energi itu akan mereda dengan sendirinya.

Contoh: saat muncul pikiran “Dia tidak menghargai aku”, biasanya timbul rasa marah. Jika kita menonton kemarahan itu tanpa larut, maka emosi perlahan reda. Kita tidak memendamnya, tapi juga tidak meledakkannya.

Singer menekankan bahwa menyaksikan emosi bukan berarti dingin atau menekan perasaan, melainkan memberi ruang agar emosi itu lewat. Dengan begitu, kita tidak diperbudak oleh pikiran dan emosi yang lahir darinya.

6. Latihan Melepaskan dengan Nafas

Nafas adalah jembatan antara tubuh, pikiran, dan kesadaran. Saat pikiran berlarian, kita bisa kembali ke pusat diri dengan memperhatikan napas.

Praktik sederhana: tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan sambil membayangkan kita melepaskan pikiran yang menekan. Ulangi beberapa kali hingga terasa lebih ringan.

Dengan menjadikan napas sebagai alat pelepasan, kita bisa menghadapi situasi penuh tekanan dengan lebih tenang. Saat cemas menjelang presentasi, misalnya, berhenti sejenak, tarik napas, lepaskan. Pikiran negatif akan berkurang kekuatannya.

Singer menyarankan menjadikan napas sebagai sarana sadar, bukan sekadar fungsi biologis. Setiap kali terseret pikiran, kembalilah ke napas. Nafas selalu membawa kita kembali ke momen kini.

7. Hidup di Saat Ini, Bukan di Dalam Pikiran

Pikiran sering membawa kita ke masa lalu atau masa depan. Kita menyesali kesalahan lama atau mencemaskan hal yang belum terjadi. Padahal, kehidupan nyata hanya ada di saat ini.

Hidup di saat ini berarti menghuni momen sekarang sepenuhnya, tanpa larut dalam pikiran yang berseliweran.

Contoh: saat makan, benar-benar rasakan rasa makanan. Saat berjalan, nikmati langkah dan hembusan angin. Saat berbincang, hadir penuh mendengarkan, bukan sibuk dengan isi kepala.

Dengan hidup di saat ini, kita menemukan kedamaian. Karena masa lalu sudah selesai dan masa depan belum datang. Yang nyata hanya detik ini.

Integrasi: Bagaimana 7 Tips Ini Membentuk Hidup yang Lebih Damai

Jika tujuh tips ini dipraktikkan, hasilnya adalah kehidupan yang lebih damai, stabil, dan bebas dari jerat pikiran. Kita tidak lagi menjadi budak isi kepala, melainkan tuan atas pikiran kita.

  • Dengan menjadi pengamat, kita berjarak dengan pikiran.
  • Dengan melepaskan, kita tidak lagi memelihara luka lama.
  • Dengan membuka kesadaran, kita melihat hidup lebih luas.
  • Dengan tidak menjadikan pikiran identitas, kita menemukan jati diri sejati.
  • Dengan menyaksikan emosi, kita bebas dari ledakan perasaan.
  • Dengan nafas, kita punya alat sederhana untuk kembali ke pusat.
  • Dengan hidup di saat ini, kita menemukan kebahagiaan sejati.

Pikiran adalah alat, bukan penguasa. Pikiran bisa membantu kita merencanakan, memecahkan masalah, atau belajar. Tapi jika kita diperbudak olehnya, kita akan hidup dalam penderitaan.

Michael A. Singer mengingatkan: diri sejati kita bukanlah isi kepala, melainkan kesadaran yang mengamati. Dengan tujuh langkah ini, kita bisa hidup lebih bebas, damai, dan otentik.

Pada akhirnya, menguasai pikiran bukan berarti menghentikan pikiran, tetapi tidak lagi dikendalikan olehnya. Saat kita mampu hidup sebagai kesadaran, kita menemukan kebebasan sejati.




Rabu, 17 September 2025

 Manfaat Berkonsultasi dengan Property Advisor Saat Mencari Rumah Impian di Solo Raya

Mencari rumah impian yang sesuai dengan anggaran dan lokasi yang diinginkan di area seperti Pasar Kliwon, Jebres, Karanganyar, dan Solo Raya bisa menjadi perjalanan yang kompleks. Di sinilah peran seorang property advisor menjadi sangat krusial. Mereka bukan hanya perantara, melainkan mitra strategis yang siap membantu Anda mewujudkan hunian idaman.

Keuntungan Menggandeng Property Advisor

1. Akses Informasi Pasar yang Mendalam:

· Pengetahuan Lokal yang Kuat: Property advisor yang berfokus pada area spesifik seperti Pasar Kliwon, Jebres, Karanganyar, dan Solo Raya memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika pasar lokal, harga terkini, serta potensi pengembangan di setiap wilayah. Mereka tahu persis daerah mana yang sedang berkembang pesat atau menawarkan nilai investasi terbaik.

· Jejaring Luas: Mereka memiliki akses ke daftar properti yang mungkin belum dipublikasikan secara luas, termasuk penawaran eksklusif atau pre-launch dari pengembang, memberi Anda pilihan yang lebih beragam.

2. Efisiensi Waktu dan Tenaga:

· Penyaringan Properti Sesuai Kebutuhan: Daripada menghabiskan waktu berjam-jam menjelajahi iklan atau survei lokasi yang tidak sesuai, property advisor akan membantu menyaring properti berdasarkan kriteria spesifik Anda (anggaran, jumlah kamar, fasilitas, aksesibilitas) dan hanya menyajikan pilihan yang relevan.

· Pengaturan Jadwal Survei: Mereka mengurus semua logistik, mulai dari menghubungi pemilik hingga mengatur jadwal kunjungan, memastikan proses pencarian berjalan mulus dan efisien.

3. Negosiasi Harga Terbaik:

· Keahlian Negosiasi: Dengan pengalaman di bidangnya, property advisor tahu cara bernegosiasi secara efektif untuk mendapatkan harga terbaik atau persyaratan yang paling menguntungkan bagi Anda. Mereka bertindak sebagai perwakilan Anda dalam transaksi penting ini.

4. Bantuan dalam Aspek Legal dan Finansial (KPR):

· Verifikasi Dokumen: Mereka dapat membantu memastikan semua dokumen legalitas properti (SHM, IMB) lengkap dan valid, meminimalkan risiko masalah hukum di kemudian hari.

· Panduan KPR: Jika Anda membutuhkan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR), property advisor dapat memberikan saran tentang pilihan bank, membantu menyiapkan dokumen, dan memandu Anda melalui proses pengajuan KPR.

Bagaimana Memutuskan Ketertarikan pada Properti?

Setelah property advisor menyajikan beberapa pilihan, langkah selanjutnya adalah memutuskan apakah properti tersebut menarik atau tidak.

1. Survei Langsung dengan Cermat: Kunjungi properti secara langsung. Perhatikan kondisi fisik bangunan, lingkungan sekitar, akses ke fasilitas umum (sekolah, pasar, rumah sakit), serta keamanan area.

2. Sesuaikan dengan Anggaran: Pastikan properti tersebut masih dalam batas anggaran Anda, tidak hanya harga beli, tetapi juga estimasi biaya renovasi (jika perlu) dan biaya perawatan bulanan.

3. Pertimbangkan Jangka Panjang: Pikirkan tujuan Anda membeli properti tersebut. Apakah untuk hunian jangka panjang, investasi, atau disewakan? Pastikan lokasi dan karakteristik properti mendukung tujuan Anda.

4. Diskusikan dengan Property Advisor: Ajukan pertanyaan apa pun yang Anda miliki kepada property advisor. Mereka dapat memberikan pandangan objektif dan membantu Anda mempertimbangkan pro dan kontra dari setiap pilihan.

5. Percayakan Insting Anda: Selain pertimbangan rasional, jangan abaikan insting atau perasaan Anda terhadap properti tersebut. Bagaimanapun, rumah adalah tempat Anda akan menghabiskan banyak waktu.

Dengan dukungan property advisor yang tepat, proses pencarian rumah di Solo Raya akan terasa lebih mudah, aman, dan memuaskan.

 Oleh :  Ali Brighton, Property Advisor.



 Seri  Cerita Romantis  : Neng Rina  Gadis  Periang dan Cantik.


Senyum di Bangku SMP

Aku masih ingat dengan jelas masa-masa duduk di bangku SMP. Di tengah hiruk pikuk anak-anak sekolah yang sibuk dengan dunia remaja mereka, ada satu sosok yang selalu mencuri perhatianku. Namanya Neng Rina.

Dia bukan hanya sekadar murid biasa. Neng Rina selalu tampak ceria, senyumnya seperti cahaya yang mampu menghangatkan siapa pun yang melihatnya. Wajahnya bersinar, penuh keramahan, membuat semua orang betah berada di dekatnya. Tak heran jika ia menjadi salah satu gadis favorit di sekolah kala itu.

Aku sendiri sebenarnya belum benar-benar mengerti soal rasa suka. Masa pubertas seolah masih jauh untukku. Tapi entah mengapa, saat melihat Neng Rina, ada sesuatu dalam diriku yang berbeda. Aku tahu betul, meskipun masih polos dan belum mengerti banyak hal, bahwa dia adalah seorang gadis yang menawan.

Di setiap kesempatan, aku hanya bisa mengamati dari kejauhan. Melihat caranya tertawa bersama teman-teman, mendengar suaranya yang ringan ketika berbicara, dan memperhatikan langkahnya yang selalu penuh semangat.

Aku tidak pernah berani menyapa lebih dari sekadar basa-basi. Mungkin karena aku merasa diriku bukan siapa-siapa dibandingkan dengan lingkaran pertemanannya yang ramai. Namun, satu hal yang selalu tertanam dalam ingatanku—senyum Neng Rina.

Senyum itu yang kelak, tanpa kusadari, akan menjadi awal dari sebuah kisah panjang yang tak pernah kuduga.

Percakapan Pertama

Hari itu suasana kelas sedang ramai. Guru belum datang, dan sebagian besar anak sibuk bercanda, melempar kertas, atau sekadar tertawa tanpa alasan. Aku duduk di bangku pojok, seperti biasanya, tidak terlalu menonjol.

Tiba-tiba, suara yang begitu akrab di telingaku terdengar.
“Eh, boleh pinjam penggaris nggak?”

Aku menoleh, dan betapa kagetnya aku saat melihat Neng Rina berdiri di samping mejaku. Senyumnya mengembang, seperti biasa, sederhana tapi mampu membuat jantungku berdebar lebih kencang.

“Oh… iya, ini,” jawabku terbata, buru-buru menyodorkan penggaris yang ada di meja.

“Makasi yaa,” katanya ringan sambil melangkah kembali ke bangkunya.

Percakapan itu sederhana, mungkin baginya biasa saja. Tapi untukku, itu adalah momen yang tak terlupakan. Untuk pertama kalinya aku merasa ada jarak yang terhapus. Aku bukan lagi hanya seorang pengamat dari kejauhan, melainkan bagian kecil dari cerita yang melibatkan Neng Rina.

Sejak hari itu, aku mulai memperhatikan lebih detail. Cara ia menulis, bagaimana ia bersenda gurau dengan teman-teman, bahkan ketika ia serius memperhatikan guru menjelaskan. Ada sesuatu yang menarik dari dirinya—bukan hanya karena ia populer, tapi karena ada ketulusan yang jarang dimiliki orang lain.

Namun, aku masih tetap diriku yang sama. Pemalu, lebih suka diam, dan hanya menyimpan semua rasa itu dalam hati.

Aku tidak tahu apakah pertemuan kecil ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, atau justru hanya sekadar angin lalu. Tapi yang jelas, untukku, itu adalah percakapan pertama yang akan terus kuingat.

Sisi yang Tidak Semua Orang Tahu

Sekolah kami selalu riuh setiap jam istirahat. Suara tawa, langkah kaki yang berlari di lorong, dan aroma jajanan kantin bercampur menjadi satu. Biasanya, aku memilih tetap di kelas atau duduk di dekat perpustakaan. Tempat yang sepi membuatku merasa lebih tenang.

Suatu hari, tanpa sengaja, aku melihat Neng Rina berjalan ke arah taman kecil di belakang sekolah. Bukan dengan teman-temannya, melainkan sendirian. Rina yang kukenal biasanya selalu bersama gengnya, penuh canda tawa, tapi kali ini berbeda.

Aku hanya mengintip dari kejauhan, duduk di bangku panjang dekat perpustakaan. Dia membuka buku catatan, lalu menulis sesuatu dengan serius. Sesekali, wajahnya terlihat murung, tak seperti senyum ceria yang biasa ia tunjukkan di depan banyak orang.

Ada rasa penasaran yang muncul. Siapa sebenarnya Neng Rina, selain sosok populer yang dikagumi banyak orang? Apakah ia juga punya keresahan, sama seperti diriku yang sering merasa tak dianggap?

Entah dorongan dari mana, aku memberanikan diri berjalan mendekat.
“Kamu suka nulis juga, ya?” tanyaku pelan.

Rina terkejut sejenak, lalu menutup bukunya. Senyumnya muncul lagi, meski tidak selebar biasanya.
“Iya… kadang-kadang. Kalau lagi banyak pikiran,” jawabnya singkat.

Aku terdiam. Baru kali ini aku melihat sisi rapuh dari dirinya. Ternyata, di balik keceriaan dan popularitasnya, ada ruang sunyi yang dia simpan rapat-rapat.

Hari itu, aku belajar satu hal: Neng Rina bukan hanya sekadar gadis ceria favorit banyak orang. Dia juga seorang manusia biasa, yang punya beban, rahasia, dan sisi lain yang tidak semua orang tahu.

Dan sejak saat itu, aku merasa… sedikit lebih dekat dengannya.

 Rahasia Kecil di Balik Taman

Sejak percakapan singkat di taman itu, ada yang berubah. Kami mulai saling menyapa lebih sering, meski masih sederhana. Kadang hanya sekadar,
“Udah belajar buat ulangan belum?”
atau
“Eh, PR Matematika udah selesai?”

Namun, setiap kali aku berbicara dengannya, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan.

Suatu sore, ketika semua murid sudah pulang, aku tak sengaja bertemu Rina lagi di taman sekolah. Ia tampak sibuk menulis di buku catatannya. Aku memberanikan diri duduk di bangku seberangnya.

“Apa yang kamu tulis?” tanyaku, agak ragu.

Dia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Cuma cerita-cerita aja. Aku suka bikin semacam diary. Nulis bikin aku lega.”

Aku mengangguk pelan. Saat itu aku merasa seperti menyimpan rahasia kecil bersama Rina—sebuah sisi dari dirinya yang tidak semua orang tahu.

Sejak itu, kami sering berbagi cerita ringan. Tentang guru yang galak, tentang cita-cita masa depan, bahkan tentang hal-hal kecil seperti jajanan favorit di kantin.

Aku tahu, ini mungkin bukan hal besar baginya. Tapi untukku, setiap percakapan terasa seperti harta karun.

Janji di Bawah Langit Senja

Hari itu langit sore berwarna jingga keemasan. Setelah kegiatan ekstrakurikuler, aku dan Rina berjalan pulang bersama. Melewati lorong-lorong gang kecil menuju rumah dan melewati kantin sekolah yang letaknya di belakang sekolah buat pulang sekolah ke arah timur sekitar jalan Mohamad Toha.

“Eh, kamu mau jadi apa nanti kalau udah besar?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab jujur, “Aku belum tahu. Tapi aku pengen bisa bikin sesuatu yang berguna… buat orang lain.” Paling tidak bisa membuat orang bahagia, sambil bergurau dan tertawa kecil".

Rina tersenyum, matanya memandang jauh ke langit senja.
“Kalau aku… pengen jadi guru. Aku pengen bisa bikin orang lain semangat belajar, kayak aku semangat kalau lagi ketemu orang yang bikin aku nyaman.”

Aku menoleh, mencoba mencari makna dari kata-katanya. Tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, dia tertawa kecil dan menambahkan,
“Pokoknya jangan lupa ya, kalau nanti kita udah besar, kita masih harus inget masa SMP ini. Janji ya?”

Aku mengangguk.
“Janji.”

Itu adalah janji sederhana, yang terucap di bawah langit senja. Aku tidak tahu apakah kelak kami benar-benar akan menepatinya. Tapi yang pasti, hari itu aku merasa bahwa hidupku berubah—karena hadirnya seorang gadis bernama Neng Rina.(Bersambung saat di SMA)






Selasa, 16 September 2025

 Restrukturisasi Organisasi di Perusahaan Keluarga : Menjaga Harmoni, Meningkatkan Profesionalisme

Perusahaan keluarga adalah salah satu pilar penting dalam perekonomian, khususnya di Indonesia. Banyak bisnis besar yang awalnya tumbuh dari usaha keluarga kecil, lalu berkembang menjadi korporasi yang kuat. Namun, seiring bertambahnya generasi dan semakin kompleksnya bisnis, sering muncul tantangan dalam hal struktur organisasi, pembagian wewenang, serta profesionalisme. Untuk itu, restrukturisasi organisasi menjadi kebutuhan mendesak agar perusahaan tetap kompetitif dan berkelanjutan.

1. Menyadari Tantangan Perusahaan Keluarga

Beberapa masalah yang kerap muncul dalam perusahaan keluarga antara lain :

  •          Tumpang tindih wewenang antara anggota keluarga di level komisaris dan manajemen.
  •          Duplikasi peran karena keengganan melepas jabatan kepada pihak lain.
  •          Kurangnya profesionalisme akibat keputusan lebih didasarkan pada hubungan kekerabatan, bukan kompetensi.
  •          Konflik internal keluarga yang merembet ke dalam operasional bisnis.

Jika tidak ditangani, tantangan ini bisa menghambat perkembangan bisnis, bahkan menimbulkan perpecahan keluarga.

2. Profesionalisasi Manajemen

Langkah pertama dalam restrukturisasi adalah memisahkan ranah keluarga dengan bisnis. Caranya :

  • Membuat aturan main yang jelas melalui family constitution atau piagam keluarga, yang mengatur peran, keterlibatan, dan hak anggota keluarga dalam bisnis.
  •  Menetapkan standar rekrutmen: anggota keluarga yang ingin terlibat harus memenuhi kualifikasi tertentu, bukan semata karena hubungan darah.
  •  Memberikan ruang bagi profesional non-keluarga untuk mengisi posisi strategis, terutama yang membutuhkan keahlian khusus.

Dengan demikian, perusahaan tetap memberi kesempatan kepada keluarga yang potensial, sekaligus menjaga standar kualitas kepemimpinan.

3. Mengembangkan Potensi Internal Keluarga

Salah satu kekuatan perusahaan keluarga adalah adanya loyalitas tinggi dari anggotanya. Untuk memaksimalkan potensi tersebut :

  •          Program pelatihan & mentoring untuk anggota keluarga yang ingin masuk ke manajemen.
  •          Rotasi jabatan agar mereka memahami berbagai aspek bisnis, bukan hanya satu bidang.
  •          Evaluasi berbasis kinerja, bukan hubungan kekerabatan, sehingga setiap keluarga yang bergabung benar-benar memberikan kontribusi nyata.

4. Pembagian Wewenang yang Tegas

  • Restrukturisasi organisasi perlu menegaskan peran dan tanggung jawab:
  • Komisaris berfokus pada pengawasan, strategi jangka panjang, dan menjaga nilai-nilai keluarga.
  • Direksi/Manajemen berperan dalam pengelolaan operasional sehari-hari.
  •  Dewan keluarga (jika dibentuk) bertugas menjaga keharmonisan keluarga serta menghubungkan kepentingan bisnis dengan kepentingan keluarga.

Dengan garis besar ini, potensi duplikasi jabatan dapat dihindari dan alur keputusan menjadi lebih jelas.

5. Menyusun Alur dan Proses Bisnis yang Transparan

Agar bisnis lebih terukur dan mudah dikelola :

  • Membuat SOP (Standard Operating Procedure) untuk setiap fungsi.
  • Menggunakan sistem manajemen modern (ERP, CRM, dll.) agar kinerja dapat dipantau secara transparan.
  •  Membangun budaya akuntabilitas, di mana setiap orang bertanggung jawab pada hasil kerjanya, bukan pada status keluarga.

6. Membangun Fondasi Keberlanjutan

Restrukturisasi organisasi bukan sekadar merapikan bagan, tetapi juga menyiapkan keberlanjutan lintas generasi. Hal ini dapat dilakukan dengan:

  •  Perencanaan suksesi yang jelas: siapa yang akan memimpin perusahaan di masa depan, dengan kriteria apa, dan bagaimana prosesnya.
  •  Diversifikasi bisnis agar tidak semua anggota keluarga menumpuk di satu bidang.
  •  Menanamkan nilai bersama bahwa bisnis keluarga bukan sekadar sumber nafkah, melainkan warisan yang harus dijaga dan dikembangkan.

Restrukturisasi organisasi di perusahaan keluarga adalah langkah penting untuk menghindari konflik, meningkatkan efisiensi, dan menjaga profesionalisme. Dengan pemisahan yang jelas antara peran keluarga dan manajemen, pengembangan potensi internal, serta pembagian wewenang yang tegas, perusahaan keluarga dapat bertumbuh lebih sehat, berkelanjutan, dan tetap menjaga harmoni antar-anggota keluarga.



Tentang Property Advisory  dengan trade area Pasar Kliwon, Jebres, 
 Karang Anyar serta Solo Raya.